Properti · November 27, 2024 0

Istilah Tapera Perlu Disesuaikan, Begini Alasannya

Istilah Tapera – Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, mengusulkan agar istilah Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) diganti jika kebijakan ini tetap bersifat wajib. Usulan ini disampaikan menyusul pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang memperluas kewajiban menjadi peserta Tapera.

Sejak diterbitkan pada Juni 2024, aturan baru ini menegaskan bahwa segmen pekerja yang diwajibkan ikut Tapera kini tidak lagi terbatas pada PNS, ASN, TNI, dan Polri, tetapi juga mencakup karyawan swasta hingga pekerja mandiri. Kebijakan ini menimbulkan reaksi beragam di masyarakat, terutama terkait kesan “wajib” yang melekat pada program ini.

Relevansi Penggantian Istilah

Menurut Maruarar, istilah “tabungan” dalam Tapera seolah-olah mengisyaratkan sukarela, sedangkan kenyataannya kebijakan ini berlaku wajib bagi banyak segmen pekerja. Perubahan istilah dinilai dapat memberikan kesan yang lebih tepat dan transparan terhadap sifat wajib dari program ini. Selain itu, istilah baru juga berpotensi meningkatkan penerimaan publik terhadap kebijakan ini, mengingat keberadaan Tapera masih menuai perdebatan.

Dampak Kebijakan Perluasan Segmen Tapera

Perluasan segmen pekerja yang diwajibkan mengikuti Tapera menunjukkan upaya pemerintah untuk memperluas akses pembiayaan perumahan bagi masyarakat. Namun, dengan sifatnya yang wajib, program ini memerlukan komunikasi yang lebih efektif, termasuk melalui pemilihan istilah yang lebih sesuai.

Apakah penggantian istilah dapat membantu meningkatkan penerimaan publik terhadap Tapera? Ini menjadi salah satu poin yang perlu dikaji lebih lanjut oleh pemerintah dalam upaya menciptakan kebijakan yang inklusif dan diterima masyarakat luas.

Tapera dan Polemik Iuran Wajib 3 Persen

Dalam program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), setiap peserta diwajibkan membayar iuran sebesar 3 persen dari total gaji bulanan mereka. Kebijakan ini mencakup semua segmen pekerja, mulai dari PNS, ASN, TNI, Polri, hingga karyawan swasta dan pekerja mandiri.

Namun, kebijakan ini menuai protes dari masyarakat. Menurut Maruarar Sirait, atau yang akrab disapa Ara, keberatan masyarakat cukup masuk akal. “Tidak ada istilah tabungan yang bersifat wajib,” ujar Ara, menyoroti ironi dalam nama program ini.

Kontradiksi antara Istilah dan Realitas

Istilah “tabungan” dalam Tapera memberikan kesan sukarela, seperti yang umumnya dipahami masyarakat. Namun, kenyataannya, program ini bersifat wajib bagi pekerja di berbagai sektor, sehingga memunculkan kesan bahwa ada kontradiksi antara konsep tabungan dan penerapan kebijakan.

Ara menilai, keberatan masyarakat terkait kewajiban iuran 3 persen dari gaji mereka harus dipertimbangkan dengan serius. Apalagi, sebagian pekerja merasa beban iuran ini menjadi tambahan tekanan finansial, terutama bagi mereka yang penghasilannya pas-pasan.

Pentingnya Transparansi dan Komunikasi

Polemik ini menunjukkan pentingnya transparansi dalam penyampaian kebijakan. Pemerintah perlu memastikan bahwa program seperti Tapera disosialisasikan dengan jelas, termasuk manfaat dan mekanisme pengembaliannya. Selain itu, pemilihan istilah yang lebih relevan dapat membantu mengurangi kesalahpahaman dan meningkatkan penerimaan publik terhadap kebijakan ini.

Keberhasilan Tapera tidak hanya bergantung pada implementasinya, tetapi juga pada cara pemerintah menjelaskan esensi program ini kepada masyarakat. Dengan komunikasi yang lebih baik, protes yang muncul dapat diminimalkan, dan kepercayaan terhadap program ini bisa meningkat.

Kritik Menteri Ara terhadap Istilah dan Konsep Tapera

Dalam rapat bersama BP Tapera di Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) pada Senin (25/11/2024), Menteri Maruarar Sirait (Ara) mengungkapkan pandangannya mengenai program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Ia menyoroti ketidaksesuaian antara istilah “tabungan” dan sifat wajib yang diterapkan dalam program tersebut.

Istilah “Tabungan” Harus Sesuai dengan Fungsinya

Ara menegaskan bahwa istilah “tabungan” seharusnya mengacu pada sesuatu yang sukarela, bukan wajib. “Kalau tabungan kan sukarela, bukan wajib,” ungkapnya. Ia juga menyarankan agar istilah “tabungan” diganti jika sifat wajib tetap diberlakukan. “Kalau mau wajib jangan pakai nama tabungan, Pak. Kita juga kalau kita salah, sportif kita perbaiki. Jangan kita ngotot gitu,” tegasnya.

Asas Gotong Royong: Tepatkah untuk Tapera?

Tapera mengusung asas gotong royong, di mana pekerja yang sudah memiliki rumah tetap diwajibkan membayar iuran untuk membantu mereka yang belum memiliki rumah. Namun, Menteri Ara menganggap konsep gotong royong ini kurang tepat jika diterapkan sebagai kewajiban.

“Kalau saya, gotong royong bukan kewajiban, tapi dari kesadaran, kemauan sendiri. Itu menurut saya,” ujar Ara. Ia menilai gotong royong sejatinya lahir dari kesadaran dan keikhlasan, bukan melalui pemaksaan atau kewajiban formal.

Tapera: Program dengan Tujuan Baik, Tapi Butuh Evaluasi

Sebagai informasi, setiap pekerja dan pekerja mandiri dengan penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum diwajibkan menjadi peserta Tapera. Meski tujuannya untuk membantu masyarakat memiliki rumah, program ini terus menuai kritik, terutama terkait kewajiban iuran yang dianggap memberatkan sebagian pihak.

Pandangan Menteri Ara mencerminkan kebutuhan untuk mengevaluasi ulang istilah, konsep, dan implementasi Tapera agar lebih sesuai dengan esensinya dan lebih diterima oleh masyarakat. Gotong royong sejatinya adalah bentuk solidaritas, bukan kewajiban, dan ini menjadi poin penting yang perlu dipertimbangkan dalam perbaikan program Tapera ke depan.

 

 

Baca juga artikel kesehatan lainnya.