Transisi menuju energi bersih di Indonesia menghadapi tantangan signifikan yang berasal dari kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini, pengaturan yang ada sering kali menghalangi daya saing energi terbarukan dibandingkan dengan sumber energi fosil yang lebih tradisional.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pihak mulai menyuarakan pentingnya reformasi kebijakan untuk mendorong adopsi energi terbarukan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak hambatan yang masih kurang diatasi, mempengaruhi investasi di sektor ini.
Pentingnya inovasi dalam kebijakan energi tidak bisa diabaikan. Untuk beralih ke sumber energi yang lebih berkelanjutan, pendekatan yang lebih holistik dan mendukung diperlukan.
Analisis Kebijakan Energi di Indonesia yang Kurang Menguntungkan untuk Energi Terbarukan
Salah satu kebijakan yang sering dikritik adalah Domestic Market Obligation (DMO) untuk batu bara. Kebijakan ini menetapkan harga batu bara domestik pada tingkat yang rendah, sekitar USD 70 per ton, membuat energi terbarukan sulit untuk bersaing secara ekonomi.
Akibatnya, banyak bank tetap enggan untuk memberikan pembiayaan kepada proyek energi terbarukan. Mereka lebih memilih untuk mendukung sektor fosil yang dianggap lebih stabil dan menguntungkan dalam jangka pendek.
Di samping itu, proyek energi terbarukan biasanya memerlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan keuntungan. Penyebabnya adalah periode pengembalian modal yang panjang dan biaya yang tinggi untuk melakukan analisis risiko atau due diligence.
Data Pembiayaan Sektor Energi di Indonesia Mengungkap Ketidakseimbangan
Menurut data dari CERAH, pembiayaan sektor pertambangan dan penggalian di Indonesia mencapai Rp 373 triliun menjelang akhir tahun 2024. Angka ini jelas menunjukkan dominasi sektor fosil dalam aliran dana.
Berbanding terbalik, sektor energi terbarukan hanya menerima pembiayaan sebesar Rp 55 triliun. Ketidakseimbangan ini menunjukkan betapa sulitnya bagi energi terbarukan untuk mendapatkan dukungan finansial yang mereka butuhkan untuk berkembang.
Sebagai tambahan, kurangnya insentif dari pemerintah juga turut memperkuat ketergantungan pada energi fosil. Jika situasi ini terus berlanjut, Indonesia akan kesulitan menjangkau target ambisiusnya dalam pengurangan emisi karbon.
Pentingnya Reformasi Kebijakan untuk Mencapai Target Emisi Nol Bersih
Anastasia menjelaskan bahwa tanpa adanya tekanan yang cukup dari kebijakan, pembiayaan terhadap proyek batu bara akan terus berjalan. Hal ini jelas mengancam komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060.
Di sisi lain, diperkirakan Indonesia memerlukan dana sekitar USD 20–40 miliar setiap tahunnya untuk mendukung transisi energi ini. Tanpa reformasi dan dukungan kebijakan yang kuat, target tersebut akan sulit dicapai.
Dalam konteks ini, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil menjadi penting. Hanya dengan kerjasama yang solid, perubahan yang signifikan dalam kebijakan bisa diwujudkan.
