Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) kini semakin menjadi bagian penting dalam layanan keuangan di Indonesia. Proses klaim asuransi, misalnya, telah tertransformasi berkat kemampuan AI yang tidak hanya mempercepat validasi dokumen, tetapi juga mampu menganalisis pola anomali dan mendeteksi indikasi penipuan secara otomatis.
Perusahaan yang menerapkan teknologi ini melaporkan waktu penyelesaian klaim yang menurun drastis. Dalam beberapa kasus, klaim yang biasanya memakan waktu hingga tujuh hari dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 24 jam, dengan tingkat akurasi deteksi penipuan mencapai lebih dari 90 persen.
Hasil ini menunjukkan bahwa potensi ideal untuk mendeteksi klaim penipuan bisa tercapai jika data dan model yang digunakan mendukung. Selain itu, proses yang bersifat digital ini meningkatkan transparansi, karena semua langkah dapat terekam dan diaudit, mendukung semangat akuntabilitas dalam industri yang menjadi perhatian utama regulator.
Pergeseran Desain Produk Keuangan Menjadi Lebih Personal dan Inklusif
Transformasi digital telah memberikan dampak signifikan pada desain produk keuangan. Dengan bantuan data dan AI, perusahaan kini dapat menawarkan produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu.
Contohnya mencakup berbagai opsi seperti proteksi kesehatan jangka pendek, asuransi perjalanan yang disesuaikan dengan jarak atau durasi, hingga asuransi digital khusus untuk pengguna aktif layanan online. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan relevansi produk, tetapi juga menjembatani kesenjangan dalam menawarkan solusi finansial.
Lebih jauh, langkah-langkah ini mendukung inklusi keuangan, mengingat penetrasi asuransi di Indonesia masih tergolong rendah. Berdasarkan data OJK, penetrasi asuransi tercatat mencapai 2,80 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), dengan densitas rata-rata per kapita yang berkisar pada Rp 2.080.020 per tahun.
Perbandingan Penetrasi Asuransi di Indonesia dengan Negara ASEAN Lainnya
Data menunjukkan bahwa angka penetrasi asuransi di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Malaysia, misalnya, memiliki tingkat penetrasi sebesar 4,8 persen, sementara Singapura mencatat angka yang jauh lebih tinggi, yakni 11,4 persen.
Angka-angka ini mencerminkan tantangan yang harus dihadapi oleh industri asuransi dalam meningkatkan daya tarik dan kepercayaan masyarakat terhadap produk-produk mereka. Meskipun beragam inovasi telah diterapkan, realita menunjukkan bahwa penetrasi industri asuransi masih sangat fluktuatif.
Data terbaru dari OJK mengungkapkan bahwa meskipun ada sedikit perbaikan, penetrasi asuransi Indonesia menurun menjadi 2,72 persen pada Februari 2025 dari level sebelumnya yang dicatat pada Desember 2024. Ini menunjukkan bahwa kendala yang ada masih perlu diatasi lebih lanjut.
Dampak Transformasi Digital pada Sektor Lain dalam Ekosistem Keuangan
Transformasi digital dalam industri keuangan sejatinya tidak hanya berdiri sendiri, melainkan saling terkait dengan perkembangan di sektor lain. Misalnya, sektor transportasi digital dan e-commerce telah lebih dulu menunjukkan dampak nyata terhadap bagaimana masyarakat melakukan transaksi.
Dengan adanya aplikasi ride-hailing dan platform e-commerce yang semakin populer, pola perilaku konsumen dalam transaksi keuangan turut berubah. Ini membuka peluang bagi industri asuransi untuk mencari cara baru dalam menjangkau pelanggan dan memenuhi kebutuhan mereka.
Meskipun tantangan dalam penetrasi asuransi masih ada, pelajaran yang bisa diambil dari sektor-sektor ini adalah pentingnya adaptasi. Pengembang produk asuransi perlu belajar dari perubahan yang terjadi di ekosistem digital untuk meningkatkan kehadiran mereka di pasar.
