Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), dengan total kapasitas mencapai 3.687 gigawatt. Potensi ini meliputi:
- Energi surya: 2.898 GW
- Energi angin: 589 GW
- Energi hidro: 94,6 GW
- Panas bumi (geothermal): 23,4 GW
- Biofuel: 50 GW
Selain itu, cadangan mineral seperti nikel, bauksit, dan batu bara memberikan nilai tambah besar bagi perekonomian. Pada 2023, sektor mineral dan batu bara berkontribusi Rp2.198 triliun terhadap PDB Indonesia, namun juga menjadi penyumbang signifikan emisi karbon.
Strategi Transisi Energi
Menyadari tantangan ini, pemerintah Indonesia menetapkan strategi transisi bertahap melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Targetnya adalah mencapai bauran energi nasional yang terdiri dari:
- 48% energi fosil
- 52% energi baru terbarukan pada 2030
Langkah-langkah strategis mencakup:
- Co-firing batu bara dengan biomassa di PLTU untuk meningkatkan kontribusi EBT.
- Pemanfaatan batu bara cair dan gas untuk mengoptimalkan batu bara kalori rendah.
- Hilirisasi mineral seperti nikel untuk baterai kendaraan listrik dan batu bara untuk metanol serta dimethyl ether (DME), menggantikan LPG.
Tantangan dan Peluang
Transisi energi membutuhkan investasi besar, sekitar USD 1 triliun (Rp15.439 triliun). Namun, langkah ini menghadirkan peluang untuk menciptakan ekonomi berkelanjutan dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. Dengan inovasi dan adaptasi teknologi, Indonesia dapat menjadi model transisi energi yang efektif di antara negara-negara berkembang.
Menuju Masa Depan Berkelanjutan
Dengan strategi transisi energi yang terencana, komitmen terhadap hilirisasi, dan pemanfaatan potensi lokal, Indonesia berada di jalur untuk menciptakan ekonomi yang inklusif dan rendah karbon. Ini bukan hanya kewajiban global, tetapi juga warisan berharga bagi generasi mendatang. Langkah ini mencerminkan visi Indonesia sebagai bangsa yang maju secara ekonomi, berpikir global, dan menjaga kelestarian lingkungan.